Pentingnya Menjaga Lisan

Pentingnya Menjaga Lisan

 

Tiada satu katapu yang kita ucapkan luput dari
pendengaran Allah. Tiada satu patah katapun
yang diucapkan kecuali pasti memakan waktu.
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan
kecuali dengan sangat pasti harus kita
pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Maka, sebaik-baik dan seberuntung-ber
untungnya manusia adalah orang yang sangat
mampu memperhitungkan dan memperhatikan
setiap kata yang diucapkannya. Sungguh,
alangkah sangat beruntungnya orang yang
menahan setiap kata-kata yang diucapkannya,
alangkah sangat beruntungnya orang yang
menahan diri dari kesia-siaan berkata dan
menggantinya dengan berdzikir kepada Allah.
Berkata sia-sia membuang waktu sedangkan
berpikir membuka pintu hikmah. Maka,
alangkah beruntungnya orang yang kuasa
menahan lisannya dan menggantinya dengan
berdzikir. Berkata sia-sia mengundang bala,
berdzikir kepada Allah mengundang rakhmat.
Rasulullah SAW bersabda, "Setiap ucapan Bani
Adam itu membahayakan dirinya (tidak
memberi manfaat), kecuali kata-kata berupa
amar ma'ruf dan nahi munkar serta berdzikir
kepada Allah azza wa Jalla (HR. Turmudzi).
Setiap manusia diberi modal oleh Allah dalam
mengarungi kehidupan ini. Modalnya adalah
waktu, dan seberuntung-beruntungnya
manusia adalah orang yang memanfaatkan
waktunya untuk keuntungan dunia dan
akhiratnya, sedangkan sebodoh-bodohnya
manusia adalah orang yang menghambur-
hamburkan modalnya (waktu) tanpa guna.
Setiap kali kita berbicara pasti menggunakan
modal kita, yaitu waktu. Maka, sebenarnya
kemuliaan dan kehormatan itu dapat dilihat dari
apa yang diucapkannya. Allah SWT berfirman :
"Amat sangat beruntung, bahagia, sukses,
orang yang khusu' dalam sholatnya, dan orang
yang berjuang dengan sungguh-sungguh
menahan diri dari perbuatan dan perkataan sia-
sia." (QS Al Mu'minun 23: 1- 3), subhanallah.
Sahabat-sahabat sekalian, salah satu ciri
martabat keislaman seseorang itu bisa dilihat
dari bagaimana ia berjuang keras untuk
menhindarkan dirinya dari kesia-siaan. Maka
semakin kita larut dalam kesia-siaan maka,
akan semakin tampak keburukan martabat
keislaman kita dan semakin akrab dengan bala
bencana, yang selanjutnya hati pun akan keras
membatu dan akan lalai dari kebenaran.
Rasulullah sendiri dengan tegas melarang kita
banyak bicara yang sia-sia.
"Janganlah kamu sekalian memperbanyak
bicara selain berdzikir kepada Allah,
sesungguhnya memperbanyak perkataan tanpa
dzikir kepada Allah akan mengeraskan hari, dan
sejauh-jauh manusia adalah yang hatinya
keras." (HR. Turmudji)
Kita lihat banyak orang berbicara tapi ternyata
tidak mulia dengan kata-katanya. Banyak
orang berkata tanpa bisa menjaga diri, padahal
kata-kata yang terucapkan harus selalu
dipertanggung-jawabkan, yang siapa tahu akan
menyeretnya ke dalam kesulitan. Sebelum
berkata, kita yang menawan kata-kata, tapi
sesudah kata terucapkan kitalah yang ditawan
kata-kata kita.
Rasulullah bersabda : " Barangsiapa
memperbanyak perkataan, maka akan jatuh
dirinya. Maka barangsiapa jatuh dirinya, maka
akan banyak dosanya. Barangsiapa banyak
dosanya, maka nerakalah tempatnya". (HR.
Abu Hatim).
Dari Sahl bin Sa'ad as Saidi, dia berkata:
"Barang siapa menjamin bagiku apa yang ada
diantara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang
ada diantara kedua kakinya (kemaluan),
niscaya akan aku jamin surga baginya."(HR.
Bukhari).
Dalam hadits lain Rasulullah bersabada;
"Barangsiap menjaga dari kejahatan
qabqabnya, dzabdzabnya, dan laglagnya,
niscaya ia akan terjaga dari kejahatan
seluruhnya."(HR. Ad Dailami) Yang dimaksud
qabqab adalah perut, Dzaabdzab adalah
kemaluan, dan Laqlaq adalah lidah.
Maka tampaknya adalah menjadi wajib bagi
siapapun yang ingin membersihkan hatinya,
mengangkat derajatnya dalam pandangan Allah
Ajjaa Wa Jallaa, ingin hidup lebih ringan
terhindar dari bala bencana, untuk bersungguh-
sungguh menjaga lisannya. Aktivitas berbicara
bukanlah perkara panjang atau pendeknya, tapi
berbicara adalah perkara yang harus
dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya.
Ada sebuah kisah, suatu waktu ada seseorang
bertanya tentang suatu tempat yang ternyata
tempat tersebut adalah tempat mangkal
"wanita tuna susila". "Dimana sih tempat x ?"
Lalu si orang yang ditanya menunjuk ke arah
suatu tempat dan hanya dengan "Tuh !", lalu si
penanya datang ke sana dan naudzubillah dia
berbuat maksiat, di pulang, lalu dia sebarkan
lagi kepada teman-temannya, lalu berbondong-
bondong orang ke sana, berganti hari, minggu,
dan tahun. Maka setiap ada orang yang
bermaksiat di sana, orang yang menunjukkan
itu memikul dosanya, padahal dia hanya
berkata : "Tuh !", cuman tiga huruf. Setiap hari
orang berzina di sana, maka pikul tuh dosanya,
karena dia telah memberi jalan bagi orang lain
untuk bermaksiat dengan menunjukkan
tempatnya.
Jadi waspada, dengan lidah, menggerakkannya
memang mudah, tidap perlu pakai tenaga besar,
tidak perlu pakai biaya mahal, tapi bencana
bisa datang kepada kita. Berbicara itu baik, tapi
diam jauh lebih bermutu. Dan ada yang lebih
hebat dari diam, yaitu BERKATA BENAR.
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik
atau diam !" (HR. Bukhari Muslim).
Sebab lisanlah yang banyak memasukkan kita
ke neraka. Rasulullah bersabda :
"Kebanyakan yang memasukkan ke neraka
adalah dua lobang, yaitu : mulut dan fardji
(kemaluan)" (HR Turmudji dan Imam Ahmad).
Sedangkan Imam Hasan berkata bahwa, "Tidak
akan berarti agama seseorang bagi orang yang
tidak menjaga lisannya".
: bahwa melanjutkan, Beliau "Baiknya Islam
seseorang adalah dengan meninggalkan
sesuatu yang tidak bermanfaat baginya". Untuk
dapat menjaga lisan menjadi terjaga dan
bermutu, ada empat syaratnya, yaitu :
1. Berkatalah dengan Perkataan yang Benar
Kalau kita ingin berbicara dengan benar, maka
pastikan bahwa pembicaraan kita bersih dari
bohong, bersih dari dusta. Kata-kata kita ini
harus benar-benar dapat dipertanggungja
wabkan kebenarannya. Jangan pernah mau
berkata apapun yang kita sendiri tidak yakin
dengan apa yang kita katakan. Jangan
berusaha berkata-kata semata-mata agar
orang terkesima, terpesona, suka, karena
semuanya tidak akan menolong kita. Perkataan
kita yakin dengan seyakin-yakinnya haruslah
dapat dipertanggungjawabkan.
Bohong, dusta, sama sekali tidak akan
menolong diri kita ini, karena kedustaan mutlak
diketahui oleh Alloh dan sangat mudah bagi
ALlah membeberkan segala kebohongan dan
kedustaan kita.
Dusta tidak akan mengangkat derajat, bahkan
sebaliknya kalau Allah membeberkan
kebohongan kita, kedustaan kita, maka, kita
akan menjadi orang yang tidak berharga
sedikitpun. Untuk dapat orang percaya pada
kita tidak bisa dibeli dengan uang, tidak bisa
dibayar dengan harta, sekali tampak bahwa kita
pendusta, pembohong, tukang tipu, maka akan
butuh waktu yang sangat lama untuk
mengembalikan kepercayaan orang pada kita.
Dusta, bohong, hanya membuat hidup jadi
sempit. Camkan, bahwa semakin banyak kita
berbohong, semakin sering kita berdusta, maka
kita telah membuat penjara, yang membuat kita
selau takut dusta kita terbuka, bahkan
selanjutnya kita akan berusaha untuk membuat
dusta baru, bohong baru untuk menutupi
kebohongan yang telah kita lakukan.
Beranilah hidup tampil dengan apa adanya,
biarlah kita tampil begini adanya. Kenapa harus
berdusta, lebih baik kita tidak diterima, karena
kita sudah mengatakan apa adanya daripada
kita diterima karena mendustainya. Jangan
berat untuk tampil apa adanya. Daripada kita
sibuk merekayasa agar rekayasa kata, sangat
pasti tidak akan menolong sedikitpun "yu
izzumantasyaa wa tudzillu man tasya" Yang
mengangkat derajat bukan kebohongan, bukan
rekayasa kita, tapi Allah saja, dan sebaliknya
yang menghinakan juga Allah.
Cegahlah dusta walau sekecil apapun, kecuali
tentunya bohong yang dibenarkan oleh syariat.
Misalnya, bohong dalam rangka bersiasat
kepada musuh, bohong ringan dengan maksud
untuk mendamaikan orang-orang yang
bersengketa demi kebaikan. Bohong istri
kepada suami atau sebaliknya dengan maksud
untuk menyembunyikan kejelekan, bohong
untuk membahagiakan dengan cara yang sah
dan benar, tetapi bukan bohong untuk
menyembunyikan aib dan kesalahan.
Sahabat-sahabat sekalian, Berpikirlah sebelum
berbicara. Jangan pernah biarkan terlontar dari
lisan ini sesuatu yang kita sendiri
meragukannya. Apalagi dengan sengaja kita
berkata dusta, naudzubillah. Demi Allah, Allah
Maha Mendengar, tahu persis segala nita di
balik kata yang kita ucapkan. Kedustaan kita
hanya masalah waktu saja bagi Allah untuk
membeberkannya, walau mati-matian kita
menutupinya. Maka, pastikan setiap
pembicaraan kita untuk tidak ada dusta, walau
sedikitpun.
Firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dan berkatalah dengan
perkataan yang benar". (QS Al Baqarah:263)
Cukuplah ayat ini sebagai dalil bagi hamba-
hamba-Nya untuk selalu menyampaikan
kebenaran.
Selalulah mohon kepada Allah agar lisan ini
dituntun dan dilindungi sehingga terhindar dari
perkataan yang tidak benar.
2. Berkatalah sesuai tempatnya
"Liqulli maqaam maqaal walikulli maqaal
maqaam" Artinya, "Tiap perkataan itu ada
tempat terbaik dan setiap tempat memiliki
perkataan (yang terucap) yang terbaik pula."
Tidak setiap kata sesuai di setiap tempat,
sebaliknya tidak setiap tempat sesuai dengan
perkataan yang dibutuhkan. Hati-hati sebelum
kita bicara, harus kita ukur siapa yang diajak
bicara. Berbicara dengan anak kecil tentu akan
jauh beda dengan ketika berbicara dengan
orang tua. Berbicara dengan remaja tentu akan
jauh beda dengan ketika berbicara dengan guru
kita. Orang yang tidak terampil untuk membaca
situasi, walau niatnya benar, hasilnya bisa jadi
kurang benar.
Lihatlah misalnya, ketika kita berbincang
dengan ponakan yang masih kecil, betapa kita
akan berusaha menyesuaikan diri dengan
dunianya, gerakan tangan kita, raut muka kita.
Hal ini karena dia tidak akan mengerti kalau kita
menggunakan gaya bahasa orang tua. Tapi
tidak mungkin kita memperlakukan guru kita
dengan cara yang sama seperti kala kita
berbicara kepada keponakan kita.
Oleh karena itu, niat untuk berdakwah dengan
mengetahui dalil-dalil Quran, memahami dan
mengetahui banyak hadist, belumlah cukup.
Sebab kalau kita berbicara tanpa cara yang
tepat, misalnya dengan mengobral dalil,
menunjukkan banyaknya hafalan saja, tidaklah
cukup.
Dalam situasi orang berkumpul pasti punya
kondisi mental yang berbeda, ada orang yang
sedang gembira, yang tentu saja akan berbeda
daya tangkapnya dengan yang sedang
nestapa. Ada orang yang sedang menikmati
kesuksesannya, dan tentu saja akan berbeda
dengan orang yang sedang dilanda masalah
dalam hidupnya. Oleh karena itu orang yang
sehat berbeda kemampuan menangkap idenya,
dengan orang yang sedang sakit, orang yang
sedang segar bugar, ceria berbeda kemampuan
memahaminya dengan orang sudah letih lahir
batinnya. Maka seseorang pembicara terbaik
tidak cukup hanya berbica benar, tapi juga
harus sangat bisa memilih situasi kapan dia
berbicara.
Mengapa banyak nasehat orang tua yang tidak
didengar oleh anaknya yang masih remaja?
Saya khawatir orang tua merasa benar dengan
apa yang dikatakannya, tapi tidak benar dalam
membaca situasi dan kondisi remaja yang
sedang diajak bicara, yang notabene kondisinya
sedang labil. Memang aneh kita ini ketika anak
masih kecil, orang tua akan berusaha
beraktivitas, bersikap, dan berbicara agar dapat
dipahami oleh si kecil, tetapi menjelang remaja,
pada saat perpindahan usia, perpindahan masa,
ia tidak berusaha beradaptasi dengan kondisi
anaknya. maka disinilah kita perlu ilmu. Sebab
dengan ilmu yang memadai setiap orang dapat
berwibawa di depan anak-anaknya.
Subhaanallah,
Ada banyak cara dalam berkomunikasi, dan
berbahagialah jikalau kita diberi keterampilan
oleh Allah untuk berbicara sesuai dengan
kondisi dan tempatnya. Kita berdialog dengan
petani, tentu saja berbeda dialognya dengan
seorang eksekutif. Berada di lingkungan santri
yang fasih bahasa Arab, tentu saja berbeda
kalau kita harus berdialog dengan orang di
pasar yang tidak mengerti bahasa Arab.
Seorang pendakwah misalnya, kalau orangnya
tidak arif, ia akan sibuk mengobral dalil,
mengobral kata-kata, walau tentu saja tidak
semuanya salah, tapi apalah artinya jika kita
meletakkan sesuatu tidak sesuai tempatnya.
Pernah terjadi suatu ketika Umar bin Khathab
bertemu dengan Abu Hurairah, "Mau pergi
kemana engkau, hei Abu Hurairah?" Tanya
Umar
"Aku mau ke pasar, akan aku umumkan apa
yang kudengar dari Rasulullah SAW," Jawab
Abu Hurairah. "Apa kata Beliau ?", Umar
bertanya lagi "Setiap orang yang mengucapkan
Laa Ilaaha Illallah, maka dakhalal Jannah, akan
masuk Surga". "Tunggu dulu, wahai sahabat",
cegah Umar. Umar bin Khathab pun kemudian
pergi menemui Rasulullah. "Yaa Rasulullah,
apakah benar engkau bersabda demikian
(sebagaimana yang disampaikan oleh Abu
Hurairah)?" Tanyanya. Dan Rasul pun meng-
iya-kan. "Tetapi, Yaa Rasul, saya keberatan
kalau sabdamu itu disebarkan kepada
sembarang orang karena dikuatirkan akan
salah dalam menafsirkannya."
Mendengar keberatan Umar itu, Rasul
tercenung, lalu sesaat kemudian bersabda,
"Yaa, aku setuju dengan pendapatmu". Abu
Hurairah pun lalu dilarang untuk
mengumumkannya di pasar.
Demikianlah, perkataannya benar, sesuai
dengan kenyataan. Akan tetapi, karena
dikuatirkan akan salah penafsiran orang yang
mendengarnya, karena diucapkan tidak pada
tempatnya.
3). Jagalah Kehalusan Tutur Kata
Orang yang lisannya bermutu haruslah
berkemampuan memperhalus dan menjaga
kata-katanya tidak menjadi duri atau tidak
bagai pisau silet yang siap melukai orang lain.
Betapa banyak kata-kata yang keluar yang
rasa-rasanya ketika mengeluarkannya begitu
gampang, begitu enak, tapi yang mendengar
malah sebaliknya, hatinya tercabik-cabik,
tersayat-sayat perasaannya, begitu perih dan
luka tertancap dihatinya. Seakan memberi
nasehat, tapi bagi yang mendengar apakah
merasa dinasehati atau malah merasa
dizhalimi.
Hati-hati, ibu kepada anak, suami kepada istri,
istri kepada suami, guru kepad murid, atasan
kepada bawahan. Kadang kelihatannya seperti
sedang memberi nasehat tetapi sesungguhnya
kalau tidak hati-hati dalam memilih kata, justru
kita sedang mengumbar duri-duri pisau 'cutter'
yang tajam mengiris.
Rasulullah bersabda, "Jiwa seorang mukmin
bukanlah pencela, pengutuk, pembuat
perbuatan keji dan berlidah kotor" (HR.
Turmudji dan Ibnu Mas'ud).
Bahkan bagi orang kafir sekalipun, Nabi
melarang mencelanya. Dikisahkan bahwa ketika
beberapa orang kafir terbunuh dalam perang
Badar, Nabi bersabda :
"Janganlah kamu memaki mereka, dari apa
yang kamu katakan, dan kamu menyakiti
orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa
kekotoran lidah itu tercela" (HR. An Nasai)
Sahabat-sahabat kalau kita berbuat salah, kita
begitu rindu orang lain bersifat bijak kepada kita
dengan memberi maaf. Kala kita tak sengaja
memecahkan piring atau melakukan kesalahan
sehingga TV rusak atau kita naik motor agak
lalai sehingga menabrak atau masuk got. Maka
apa yang kita inginkan ? Yang kita inginkan dari
orang lain adalah dia dapat bijaksana kepada
kita. "Innaalillaahi wa innaailaihi raaji'uun"
"Lain kali lebih hati-hati, jadikan ini pelajaran
yang baik, bertaubatlah". Demikian kata-kata
bijak yang kita harapkan. Sebab sangat pasti
akan selalu ada kesempatan kita untuk berbuat
kesalahan.
Dikala itu, jika orang menyikapi dengan baik,
kita diberi semangat untuk bertaubat, semangat
untuk mempertanggungjawabkan, kita tidak
dicela, kita tidak dipermalukan, maka yang
terjadi adalah semangat kita untuk
mempertanggungjawabkannya menjadi lebih
besar.
Bandingkan dengan kalau kita melakukan suatu
kesalahan, lalu orang lain marah kepada kita,
"Diam disini, ini perhatikan ! Dasar anak dungu,
tidak hati-hati, begitu sering membuat
kesalahan, kemarin ini, sekarang itu. Ini adalah
kelakuan yang sangat menyebalkan, dia
pengacau di tempat kita, dia adalah orang yang
paling merugikan". Bayangkan perasaan kita,
yang terjadi adalah merasa dipermalukan,
merasa dicabik-cabik, merasa dihantam,
merasa diremukkan, harga diri kita benar-benar
diinjak-injak. Saya kira kata-kata itu tidak akan
masuk ke dalam kalbu, kecuali dendam yang
akan merasuk.
Diriwayatkan bahwa suatu waktu, seorang Arab
Badwi bertemu Rasulullah SAW, dan Rasulullah
berkata : "Engkau harus bertakwa kepada Allah,
Jika seseorang membikin malu padamu,
dengan sesuatu yang diketahuinya padamu,
maka janganlah memberi malu dia dengan
sesuatu yang engkau ketahui padanya. Niscaya
akan celaka padanya dan pahalanya padamu.
Dan janganlah engkau memaki sesuatu !" (HR.
Bukhari-Muslim)
Dalam Hadist lain Rasulullah SAW bersabda,
"Bahwa yang pertama-tama diberitahukan
Tuhan kepadaku dan dilarang aku daripadanya
sesudah penyembahan berhala dan minum
khamar, ialah mencaci orang". (HR. Ibu Abi
Dunya).
Sungguh kalau kita tidak suka dipermalukan,
tidak suka disakiti, tidak suka direndahkan,
mengapa kata-kata kita sering
mempermalukan, merendahkan, menghinakan
orang lain? Padahal, sebaik-baiknya kata
adalah yang mengoreksi, yang dapat meraba
perasaan diri sendiri dan orang lain kalau
misalnya kita diperlakukan seperti itu. "Duh,
dengan kata-kata ini dia terluka atau tidak,
dengan kata-kata ini dia tersakiti atau tidak ?"
Manfaat tidak kalau misalnya ada yang shaum,
lalu ditanya shaum atau tidak, makin kita tanya,
"Saudara shaum atau tidak?" Padahal dia
sedang berusaha menyembunyikan amalnya,
terpaksa harus bicara. Kalau menjawab "Ya,
Saya Shaum", terbersit peluang untuk riya.
Kalau menjawab, "Tidak", jadi dosa karena
berdusta. Kalau diam saja takut disangka
sombong. Maka, kita telah menyusahkan orang
gara-gara pertanyaan kita.
Saudara-saudara sekalian, sudahlah jangan
banyak tanya yang kira-kira tidak bermanfaat
bahkan menjadi beban bagi yang ditanya.
Jangan pernah berkata yang membuat orang
lain jadi susah, kita juga tidak mau disusahkan
oleh perkataan orang lain. Kalau disuruh
memilih, mending diajak bicara yang kasar atau
yang halus ? Tentu kita akan memilih berbicara
dengan bahasa yang halus.
Firmannya, "Hai orang-orang yang beriman!
Janganlah segolongan laki-laki menghina
segolongan yang lain, boleh jadi (mereka yang
dihina itu) lebih baik dari mereka (yang
menghina). Dan janganlah segolongan
perempuan (menghina) golongan perempuan
yang lainnya, boleh jadi (yang dihina) lebih baik
dari mereka (yang menghina)." (QS. Al Hujurat
49:11).
Rasulullah juga bersabda,
"Demi Allah Aku tidak suka menceritakan
tentang seseorang". (HR. Abu Daud dan
Turmudji). Jangan pula menasehatkan apa
yang tidak pernah kita lakukan, sebab firman-
Nya: "Hai, orang-orang yang beriman, mengapa
engkau berkata-kata sesuatu yang tidak
engkau perbuat. Sesungguhnya amat besar
kemurkaan Allah terhadap orang yang berkata
tapi tidak melakukannya." (QS. Ash Shaff 61:
2-3)
Maka, mulai sekarang, jagalah lisan kita,
banyaklah berbuat daripada berkata, atau
banyaklah berkata dengan perbuatan daripada
banyak berkata tanpa ada perbuatan. Kita tidak
akan terhormat oleh banyak berbicara sia-sia,
kehormatan kita adalah dengan berkata benar
atau diam.
Gelas yang kosong hanya diisi dengan air, tapi
mata air yang melimpah airnya bisa mengisi
wadah apapun. Artinya, orang yang kosong
harga dirinya hanya ingin dihargai, tapi orang
yang melimpah harga dirinya akan senang
menghargai orang lain.
Pastikan gaya bicara kita jangan merendahkan
orang lain, karena diri kita ingin dihargai, hal itu
justru menunjukkan kerendahan diri kita.
Karena mulut itu bagai moncong teko, hanya
mengeluarkan isi teko, di dalam kopi keluar
kopi, di dalam teh keluar teh, di dalam bening
keluar bening. Maka berbahagialah bagi yang
ucapannya keluar dari mulutnya bagai untaian
kalung mutiara, yang niscaya ia akan
merasakan betapa indah dan berkilau
indahnya. Kalau pembicaraan bagai untaian
perhiasan harganya, insyaallah hatinya akan
berharga pula. Tapi kalau mulutnya bagai
keranjang sampah tumpah, maka hatinya akan
tak jauh pula.
Untuk dapat menjaga lisan menjadi terjaga dan
bermutu, ada empat syaratnya yaitu:
1. Berkatalah dengan perkataan yang benar
2. Berkatalah sesuai tempatnya
3. Jagalah kehalusan tutur kata
4. Berkatalah yang bermanfaat
Pastikan setiap kata-kata yang keluar dari
mulut kita itu full manfaat. Rasulullah bersabda,
"Diantara tanda kebaikan akhlak manusia
muslim adalah meninggalkan apa yang tidak
perlu" (HR. Turmudji).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, Nabi SAQ
kehilangan Ka'ab bin Ajrah. Lalu beliau
tanyakan kemana Ka'ab sekarang. Mereka
menjawab: "Beliau sakit, yaa Rasulullah". Lalu
Nabi keluar berjalan, sehingga sampai pada
Ka'ab, Lalu beliau bersabda : "Gembiralah
wahai Ka'ab", Lalu Nabi bertanya : "Siapakah
wanita yang bersumpah ini kepada Allah ?"
Ka'ab menjawab : "Ibuku, wahai Rasulullah"
Lalu Nabi menyahut : "Apakah yang
diberitahukan kepada engkau wahai Ummu
Ka'ab ?" Ibunya Ka'ab menjawab : "Mungkin
Ka'ab berkata perkataan yang tidak perlu atau
tidak berkata yang diperlukan". (HR. Ibnu Abi
Dunya)
Maka, satu-satunya pilihan adalah berkata
yang penuh manfaat. Ketika tiba-tiba hujan,
"Huuh, hujan !" Lho, apa untungnya berkata
begitu, apa dengan berkata begitu hujannya jadi
berhenti ? Tidak kan...? Hujan adalah pekerjaan
Allah, suka-suka Allah mau ngasih hujan atau
tidak, yang pasti setiap perbuatan Allah itu
bermanfaat buat orang beriman. Apa salahnya
Allah menurunkan hujan, dulu waktu kemarau
panjang mengeluh, di kasih hujan masih
mengeluh juga.
Suatu ketika pernah duduk dengan seorang
ulama yang terpelihara, "Aduh, jam tangan
ketinggalan !" Tiba-tiba saya ingat, bahwa jam
saya ketinggalan. "Kenapa pakai aduh ? Lebih
bermanfaat kalau mengucapkan innaalillaahi,
lupa nih ketinggalan jam, mudah-mudahan
dapat diambil di waktu yang tepat".
Sahabat-sahabat sekalian, jangan bunyi
kecuali yang bermanfaat. Jangan pula mencela
perbuatan Allah. Panas, dingin, hujan atau
kemarau, dengan panas yang membakar
sekalipun, jangan mencela. Atau tiba-tiba petir
mengelegar, kenapa menjerit ....?
Bukannya malah menyebut nama Allah. Atau
tiba-tiba menginjak bangkai, "Hiii bangkai
anjing sialan !" Kenapa harus mencaci, tidak
usah mencela, beristighfarlah, sebab Allah
memberikan kejadian, sangat pasti ada
hikmahnya.
4. Berkatalah yang Bermanfaat
Dikisahkan bahwa suatu waktu Nabi Isa, as,
melihat bangkai seekor anjing, ketika sahabat-
sahabatnya berpaling karena jijik, maka Nabi
Isa justru melihat susunan gigi putihnya yang
tertata indah,
"Anjing itu giginya rapi sekali yaa...!", Teman-
temannya keheranan. "Yaa, Rabbii (Guru),
kenapa Paduka berkata begitu, bangkai anjing
itu kan sangat menjijikkan. Bahkan Paduka
sendiri kalau dihina, dicaci, diremehkan dengan
kata-kata jelek, kata-kata Tuan selalu baik ?"
Nabi Isa Menjawab:
"Karena setiap orang memang akan
mengeluarkan apa yang dimilikinya. Kalau
pikiran dan perasaannya jelek, maka yang
keluar adalah yang jelek-jelek juga", Demikian
jawabnya. Makin banyak kepeleset lidah, makin
banyak masalah dan dosanya, makin banyak
dosa, nerakalah tempatnya. Maka, "Fal yakul
khairan au liyasmut", "Berkatalah yang benar
atau diam", Demikian Sabda Nabi. Jangan
sekali-kali mencela makanan yang sudah
tersaji di depan mata. "Huuh, ini mah terlalu
asin !" Kalau nggak suka kasikan kepada
makhluk lain yang lebih membutuhkan. Ada
makanan terlalu dingin, yaa hangatkan !
Jangan mengeluh, jangan mencela. Sebab
sudah dikasih makan saja oleh Allah sudah
untung.
Mencela atau mengutuk bukanlah akhlak
seorang muslim. Rasulullah bersabda, "Orang
Mukmin itu bukan type pengutuk" (HR.
Turmudji). Dalam Hadits lain Nabi SAW
bersabda, "Janganlah Kamu kutuk-mengutuk
dengan kutukan ALLAH, dengan kemarahan-
NYa, dan dengan neraka Jahannam". (HR. Abu
Dawud dan Turmudji)
Pernah suatu waktu ketika di tanah suci, ada
seorang jemaah haji ikhwan yang suatu waktu
ia mendapat jatah makanannya dingin dan
keras. Maka, mengeluhlah dia, "Huuh, susah di
Arab ini, masa nasi aja sebegini keras."
Gerutunya tanpa henti. Seseorang kemudian
menasehatinya, "Pak, kalau Bapak semakin
mengeluh, mencela, Bapak akan semakin
sengsara, menderita. Karena yang memberi
makan adalah ALLAH, ada kalanya Allah
menguji dengan makanan yang enak dan lezat,
ada kalanya pula Allah menguji dengan
makanan yang tidak enak atau mungkin
dengan makanan yang sudah basi. Kenapa
ketika sekali ini makanan kita tidak enak, lalu
kita sibuk mencaci, mencela, yang tidak akan
menyelesaikan masalah, bahkan justru
mengundang murka Allah "
Padahal di Mekkah lamanya 40 hari, 40 x 3 =
120 kali, dan makan yang enggak enak ini
cuma satu kali, maka tidak adik dia, zhalim dia.
Sahabat-sahabat sekalian berhentilah mencela.
Lihat orang berbibir tebal, sudahlah jangan
mencela, toh bibik kita dan bibir dia, ALLAH
juga yang menciptakan. Seseorang yang
matanya sipit, tidak berarti kita harus
mengatakan "betapa sempitnya dunia bagi
dia". Dia sama sekali tidak memiliki matanya,
Allah-lah yang menciptakannya. Apakah kita
akan mencela ciptaan Allah ?
Padahal olok-olok, penghinaan, dan pencelaan
akan menyulitkan kita di akhirat kelak. Nabi
SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang
yang memperolok-olok manusia itu, dibukakan
pintu surga bagi salah seorang dari mereka.
Lalu dikatakan kepadanya, "Mari, marilah!" Lalu
orang yang memperolok-olokan itu datang
dengan kesusahan dan kegundahannya. Ketika
ia datang ke pintu surga itu, lalu pintu surga itu
terkunci buat dia. Maka terus menerus seperti
yang demikian, sehingga pintu itu dibukakan
bagi orang tersebut, lalu dikatakan kepadanya.
"Mari, Marilah!", Maka ia tidak datang lagi ke
pintu itu". (HR. Ibnu Abi Dunya).
Maka pastikan, dari mulut kita tidak keluar
kata-kata penghinaan, pencelaan, olok-olok,
dan yang sejenisnya. Pokoknya kalau enggak
perlu-perlu amat, jangan bunyi. Wah, kalau
begitu nanti dunia ini sepi dong...
Lho bicara itu tidak selalu harus pakai mulut,
senyum ramah, duduk dengan penuh perhatian,
santun, ini sudah bicara. Cara menunjuk, cara
bersila, bagaimana kita bersikap terhadap
pembicaraan orang lain. Itu semua sudah
merupakan ribuan kata, bahkan jutaan kata.
Ingatlah bahwa syarat istiqomahnya hati di
jalan ALLAH adalah istiqomahnya lisan. Sabda
Nabi SAW, bahwa "Tidak akan istiqomah iman
seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan
tidak akan istiqomah hatinya sebelum
istiqamah lisannya". (HR. Ahmad) Subhanallah,
maka marilah mulai sekarang kita menjaga dan
mengelola lisan kita dengan hanya digunakan
sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. ..

https://www.facebook.com/notes/novan-candra/full-versipentingnya-menjaga-lisan/10152305501344650
Pentingnya Menjaga Lisan Pentingnya Menjaga Lisan Reviewed by Eksis Solusi FE UNNES on 9:07 PM Rating: 5

No comments