Mujahid Media dari Bumi Syam
Mujahid Media dari Bumi Syam
Malam nan syahdu, kuhabiskan malam di pinggiran rel kereta api
tepatnya di Griya Quran Istiqomah Solo. Aku yang tak terbiasa tidur dengan
kebisingan yang mendera tetap bisa terlelap juga malam ini. Esok hari aku akan
bertemu dengan orang-orang spesial di training jurnalistik muslimdaily.net. Dijadwalkan
besok aku dan rekan-rekan jurnalis lain akan belajar langsung dari wartawan
Gaza, Abdillah Onim. Siapa yang tak exited?
Acara dimulai jam 09.00 WIB, aku dan ketiga temanku sudah berangkat
meninggalkan tempat menginap ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00
WIB. Kami terpaksa harus memutar-mutar dengan taxi untuk menemukan Gedung
Syariah yang menjadi lokasi pelatihan. Alhamdulillah, akhirnya TKP ditemukan
juga.
Ahad tanggal 28 Juni 2015 ini merupakan training terakhir. Ternyatakejutan
yang dijanjikan panitia benar adanya. Tak henti aku bersyukur mendapat
kesempatan lolos seleksi sehingga bisa mengikuti training sampai penutupan.
Bayangkan, dari jam 09.00 sampai Maghrib kami akan mendapat ilmu dari 8 narasumber.
Masya Allah.
Ramadhan bukan aral untuk absen berburu berkah. Pagi ini sudah
kusiapkan mata, telinga, hati, dan tangan untuk menyerap semua ilmu dari para
narasumber. Muhammad Ihsan founder kampungsarjana.com, Abdillah Onim, Santi
Soekanto, Burhan Sodiq, Cak Lis dari Infaq Dakwah Center, Zulfikri pemred
muslimdaily.net, Ustadz Abdurrohman Ba’asyir, dan Bang Dzikrullah. Itulah
sederet nama yang akan memompa semangat para peserta.
Usai sholat Dzuhur telah terjadwal kami akan teleconference dengan
Abdillah Onim, salah satu mujahid media di tanah Gaza. Wajah panitia terlihat
lusuh akibat setting jaringan yang tidak bisa tersambung. Seorang panitia
terpaksa menyusuri seluruh ruas jalan mencari paket data. Bahkan handphone
harus ia gadaikan karena uang untuk membeli kuota internet kurang.
Atas ijin Allah, samar-samar wajah Abdillah Onim mulai terlihat di
layar LCD. Beliau yang selama ini kulihat di layar kaca sekarang akan bertatap
muka langsung via layar, terpaut jarak Solo-Gaza. Spirit peserta kian diaduk-aduk
untuk terus maju menghadapi bombardir media sekuler dan zionis.
“Saya tidak mempunyai latar belakang jurnalistik. Pendidikan saya
ekonomi jurusan perbankan syariah. Namun Allah Maha Pembolak-balik hati. Bisa
dibilang saya sebelumnya tidak bisa pegang kamera, namun sekarang kamera
profesional keluaran canon terbaru sekarang sudah bisa,” tandas Bang Onim.
Beliau tercatat menjadi relawan sebuah LSM untuk masyarakat Gaza. Memulai
karya di bidang jurnalistik di saluran televisi swasta nasional Metro TV
kemudian TV One. Pada tahun 2012 akhirnya ia mundur dari TV One karena misi dan
karakter pemberitaan yang berbeda.
Akhir tahun 2014 saat puncak kecamuk Palestina vs Israel didaulat
untuk mengabarkan kondisi terkini Gaza untuk saluran TV One. Ketika warga Gaza
harus menjauh dari lokasi roket maupun bom zionisme, beliau justru harus
mendekat untuk mengabarkan kondisi tanah Syam.
Beliau mengaku kalau sudah mendedikasikan waktu dan jiwanya untuk
jihad dalam bidang media di Bumi Gaza. Jurnalistik di tanah konflik sangat
membutuhkan kesabaran, keberanian, dan sosialisasi. Cacat maupun syahid harus
diikhlaskan demi komitmennya mendakwahkan Islam dengan mengabarkan berita
terkini.
Dengan berapi-api Bang Onim mengungkapkan, “Buku dan bolpoint
adalah senjata jurnalis. Jangan sampai kita menjadi jurnalis hanya karena uang.
Allah Maha Kaya, ia pasti membalas dunia akhirat siapa saja yang fisabilillah”.
Mataku mulai berkaca-kaca. Sadar kalau di sini masih suka
berleha-leha. Aku masih saja suka beralasan ketika hendak liputan. Masih banyak
bermain-main. Sedang mujahid media di sana selalu dihadapkan pada
moncong-moncong meriam Israel yang tak henti untuk membunuh para jurnalis.
“Saya disini berjuang
sendiri. Teman-teman Gaza ada yang membantu namun terkendala bahasa, oleh
karena itu jika Pintu Raffah dibuka saya ingin mencari teman untuk berjuang
disini. Biaya hidup dan lainnya saya yang menanggung,” pintanya tulus pada anggota
forum.
“Semoga suatu saat kita bisa bertemu langsung di Indonesia. Kalaupun
tidak semoga kita bisa sholat berjamaah di Masjidil Aqsa. Andai belum, semoga
kembali berjumpa di akhirat nanti.”
Kata-kata penutup ini mendorong air mata mengalir. Bisa merebut
kembali Masjdil Aqsa tentu mimpi seluruh umat muslim.Doa dari seorang yag
tengah jihad fii sabiillah semoga dikabulkan Allah.
Setelah teleconference dengan Bang Onim selesai, speaker pembicara
diestafetkan pada Ustadz Dzikrullah Wisnu Pramudya dan Ustadzah Santi Soekanto.
Ketika sang moderator menjelaskan latar belakang narasumber, bertambah sadar
kalau selama ini diriku ketinggalan info mengenai mujahid-mujahid Bumi Syam.
Keduanya ialah pendekar marvi marmara,dua di antara ratusan relawan
kemanusiaan yang berusaha sedikit memerdekakan rasa takut dan kesepian warga
Gaza dari kezaliman Israel. Siapa sangka,
di tengah perjalanannya justru kapal dibajak oleh tentara Israel. Suasana takut
lebih dini justru menghampiri relawan. Tak terbayang bagaimana mencekamnya Gaza
dibanding tragedi atas kapal kemanusiaan ini. Atas ridha Allah akhirnya Ustadz
Dzikru dan rombongan bebas usai interogasi tentara-tentara zionis.
Ustadz Dzikru dan Ustadzah Santi telah malang melintang untuk
liputan di Bumi Syam, tercatat beliau pernah berdomisili di Suriah. Dengan
tawadhu mereka mengaku bekerja sampingan menjadi wartawan padahal keduanya
jurnalis ulung yang memiliki pengalaman lebih dari 25 tahun.
“Siapa jurnalis terhebat? Tidak lain Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kalu kita tilik aktivitasnya ternyata tidak lepas dari kegiatan jurnalistik,”
terang Ustadz Dzikru.
Dalam sesi ini Ustadz Dzikru menjelaskan kesimpulan yang ia dapat
selama berkarya dalam jurnalistik. Dengan gaya santai beliau menceritakan
pengalaman yang telah didapatkan di lapangan. Sungguh, aku semakin tertantang
akan bidang jurnalistik.
Kalau selama ini aku mendengar jurnalisme Islam, Ustadz Dzikru lah
yang pertama kali memberitahu kalau tak ada namanya jurnalisme Islam. Setelah
berkecimpung puluhan tahun, baru beliau sadari kalau meletakkan jurnalisme di
depan Islam seolah kata ini belum sempurna. Padaha Islam adalah agama yang
summul.
Berganti pada Ustadzah Santi yang memotivasi. Ia bertanya apa
status kami di muslimdaily. Berapa gaji tinggi yang akan kami dapatkan. Kami
pun menjawab hanya relawan, kami cyber troops.
“Putra dan putri disini, antum semua berbahagia karena status
sekarang. Antum tida memilih untuk bekerja di media demi kekayaan, terkenal,
dan jabatan. In syaa Allah anak-anakku akan digaji langsung oleh Allah.”
Perkataan wanita pertama Indonesia yang masuk terowongan Brigadir
Al-Qassam ini sungguh menggetarkan. Beliau yang telah makan asam garam jurnalis
baik sekuler maupun Islam sangat menyupport kami. Ya benar, biarlah subsidi dan
gaji kami dapatkan dari Allah semata.
“Di Suriah media activis seperti ini yang mampu mengabarkan kondisi
riil ke masyarakat luas. Mereka tidak dibayar. Justru harus mengorbankan uang
untuk membeli pulsa. Mesti waspada dengan bom-bom gentong rezim Bashar Assad.”
Kulihat peserta lain tak mampu membendung air mata untuk keluar.
Sangat sakit mengetahui cerita langsung kesengsaraan saudara di Suriah. Sungguh
turun tangan berdakwah di dunia media begitu mulia berbalut tantangan yang
menantang dan tak mudah.
“Tidak lagi era berbangga diterima media terkenal hanya karena
bayaran. Di luar sana banyak wartawan sejati yang syahid karena ditarget oleh
lawan. Disini, saya berdoa semoga kelak kita meninggal di lapangan kerja
jurnalis, syahid yang kita peroleh,” kalimat motivasi Ustadzah Santi Soekanto
yang berhasil menguras kembali air mata sebagian besar peserta muslimah.
By : Titin
Fitriyani
Mujahid Media dari Bumi Syam
Reviewed by Eksis Solusi FE UNNES
on
2:21 AM
Rating:
No comments